Asuransiaman.com – Indonesia tengah dilanda gelombang aksi unjuk rasa yang berlangsung sejak 28 Agustus lalu. Ribuan massa turun ke jalan di berbagai kota besar seperti Jakarta, Surabaya, hingga Makassar untuk menyuarakan kekecewaan terhadap sejumlah kebijakan pemerintah. Demonstrasi tersebut mendapat perhatian luas, bahkan dari media internasional, lantaran berujung ricuh hingga menimbulkan korban jiwa dan berpengaruh pada stabilitas ekonomi.
Insiden tragis terjadi ketika seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, meninggal dunia setelah terlindas kendaraan taktis Brimob. Kejadian itu memicu reaksi emosional dari publik. Selain itu, unjuk rasa dinodai aksi penjarahan rumah pejabat serta pembakaran fasilitas umum oleh kelompok tak dikenal.
Situasi ini tidak hanya menimbulkan kerugian sosial, tetapi juga mengganggu stabilitas ekonomi nasional. Pada perdagangan Senin (1/9), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok hingga 2,69 persen. Rupiah pun tertekan akibat meningkatnya aksi jual investor asing.
Fenomena demonstrasi besar sebenarnya bukan hal baru di tahun pertama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Sebelumnya, aksi #IndonesiaGelap pada Februari serta unjuk rasa terkait revisi Undang-Undang TNI pada Maret telah mengguncang stabilitas politik. Kini, isu tunjangan jumbo anggota DPR menjadi pemicu terbaru gelombang protes.
Analis ekonomi menilai dampak unjuk rasa kali ini tidak bisa dianggap sepele. Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sempat mencatat angka positif 5,12 persen pada kuartal II-2025 berpotensi melambat jika kerusuhan terus berlanjut. Sektor investasi menjadi salah satu yang paling rentan terkena imbas. Investor cenderung menunda aliran modal karena situasi dianggap tidak kondusif.
Selain itu, kegiatan ekonomi di lapangan ikut terganggu. Aksi massa di pusat kota menghambat mobilitas pekerja, memperlambat distribusi barang, bahkan memaksa sebagian perusahaan menghentikan operasi sementara. Kondisi ini menurunkan produktivitas dan menekan pertumbuhan konsumsi.
Pengamat menegaskan pentingnya keseimbangan antara perlindungan hak masyarakat untuk menyampaikan aspirasi dengan penegakan hukum yang tegas terhadap tindakan anarkis. Stabilitas politik disebut sebagai faktor kunci bagi kepastian hukum dan keamanan investasi. Tanpa kondisi yang terkendali, risiko capital outflow semakin besar.
Sejumlah kalangan juga menilai gelombang protes ini mencerminkan lemahnya partisipasi publik dalam proses pengambilan keputusan. Kebijakan kontroversial, mulai dari revisi UU Minerba, penghapusan multifungsi TNI, hingga pembentukan kabinet yang dinilai gemuk, menimbulkan resistensi yang berulang.
Dampak jangka pendek aksi ini terlihat pada meningkatnya volatilitas pasar keuangan. Nilai tukar rupiah melemah, sementara pasar saham mencatat kerugian signifikan. Jika ketidakstabilan berlanjut, prospek pertumbuhan jangka menengah dikhawatirkan semakin tertekan, terutama di tengah ketidakpastian global dan melambatnya ekonomi Tiongkok sebagai mitra dagang utama Indonesia.
Para analis menyarankan pemerintah segera mengambil langkah tegas namun tetap proporsional. Komunikasi yang jelas, pemulihan kepercayaan publik, serta dialog dengan masyarakat dinilai penting untuk meredam gejolak. Di sisi lain, kebijakan kontroversial perlu dievaluasi secara transparan agar tidak terus memicu penolakan.
Reformasi tata kelola anggaran dan transparansi remunerasi pejabat publik juga disebut sebagai langkah krusial untuk mencegah protes serupa di masa depan. Tanpa perbaikan struktural, risiko demonstrasi besar yang berulang akan terus membayangi stabilitas politik maupun ekonomi nasional.







