Menteri Keuangan Jelaskan Kenaikan PPN 12% Mulai Januari 2025: “Demi APBN, Bukan Membabi Buta”
Asuransiaman.com – Kenaikan PPN menjadi 12% pada Januari 2025 mulai memicu berbagai reaksi dari masyarakat, khususnya di media sosial. Sebagian besar warga khawatir kebijakan ini akan menurunkan daya beli mereka dan berpotensi berdampak buruk pada pendapatan perusahaan, yang berujung pada pemotongan gaji karyawan. Reaksi ini mencerminkan kekhawatiran yang meluas, mengingat kondisi ekonomi yang masih dalam pemulihan pasca-pandemi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani menjelaskan dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR pada 13 November 2024, bahwa keputusan untuk menaikkan PPN telah dipertimbangkan matang demi keberlanjutan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). “Kenaikan ini bukan keputusan yang diambil secara terburu-buru, tetapi demi stabilitas ekonomi negara,” ujarnya. Meski demikian, banyak ekonom yang khawatir kebijakan ini akan memberikan dampak negatif, terutama pada daya beli masyarakat yang sudah menurun akibat inflasi dan biaya hidup yang tinggi.
Sejumlah pengamat pajak juga menilai bahwa reaksi negatif publik ini mencerminkan kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dalam pengelolaan pajak. Mereka menganggap bahwa uang yang mereka bayarkan tidak kembali dalam bentuk pelayanan publik yang memadai, seperti yang diharapkan. Hal ini semakin memperburuk persepsi publik terhadap kebijakan pajak yang ada.
Augie Reyandha Giuliano, seorang pengusaha event organizer, menjadi salah satu yang menyuarakan kekhawatirannya terhadap kenaikan PPN ini. “Dengan anggaran acara yang mencapai Rp2 miliar, kenaikan PPN 12% akan menyebabkan selisih pendapatan sebesar Rp64 juta setiap bulannya. Uang sebesar itu bisa digunakan untuk menggaji delapan hingga 12 orang karyawan,” jelas Augie. Ia mengungkapkan bahwa dampak dari kenaikan PPN tidak hanya akan dirasakan oleh perusahaan besar, tetapi juga akan memengaruhi kesejahteraan karyawan, bahkan berisiko mengurangi fasilitas dan tunjangan yang diberikan kepada mereka.
Tidak hanya pengusaha, konsumen pun merasakan dampak dari kenaikan PPN ini. Nimas Utama, seorang penyedia jasa makanan sehat di Bali, menuturkan bahwa meski bisnisnya tidak langsung dikenakan PPN, kenaikan pajak ini tetap berisiko mengurangi daya beli masyarakat. “Kemampuan ekonomi masyarakat sudah turun setelah pandemi, dan sekarang dengan kenaikan PPN, saya yakin kemampuan mereka untuk membeli barang akan semakin terbatas,” ujarnya.
Baca juga: Saham Grab Melonjak 15%, Perusahaan Optimis Tumbuh Meski Persaingan Ketat
Dalam skema perpajakan Indonesia, PPN dikenakan pada transaksi jual beli barang dan jasa yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP). Pada saat ini, tarif PPN yang berlaku adalah 11%, yang akan meningkat menjadi 12% pada awal 2025. Kebijakan ini sudah diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang menyatakan bahwa PPN akan dinaikkan secara bertahap.
Meski banyak kritik yang muncul, pemerintah melalui Sri Mulyani menegaskan bahwa keputusan ini tetap dilaksanakan untuk mendukung stabilitas ekonomi dan keberlanjutan APBN. Kenaikan PPN ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pembangunan negara. Pemerintah berharap kebijakan ini dapat memberikan manfaat dalam jangka panjang, meskipun saat ini berdampak pada berbagai sektor ekonomi.