Jakarta –
Hakim anggota Mulyono Dwi Purwanto memberikan pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam putusan Benny Tjokrosaputro di kasus korupsi ASABRI. Salah satu dissenting opinion itu adalah terkait metode perhitungan kerugian keuangan negara.
“Menimbang bahwa atas unsur kerugian keuangan negara dan uang pengganti yang dibuat JPU kepada terdakwa yang di mana pada intinya telah dipenuhi secara informil, alat bukti ini berupa surat hasil pemeriksaan, investigasi BPK RI No 7 tanggal 17 Mei 2021 dalam rangka perhitungan kerugian keuangan negara atas pengelolaan keuangan dan dana investasi pada PT ASABRI periode 2012-2019. Namun secara materiel menurut anggota majelis hal tersebut tak dapat meyakini kebenarannya dalam kajian dalam kaitan metode penghitungan jumlah kerugian uang negara dengan investasi pada surat berharga, saham, dan reksadana di PT ASABRI,” kata hakim Mulyono Dwi Purwanto di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Kamis (12/1/2023).
Hakim menyoroti metode penghitungan kerugian negara yang dilakukan ahli. Hakim Mulyono menyebut perhitungan kerugian negara di kasus ASABRI menggunakan metode total loss dengan modifikasi.
“Jumlah kerugian negara yang terjadi dan dinyatakan dalam LHP tersebut Rp 22 triliun sekian, yaitu jumlah kerugian investasi pada saham Rp 10 triliun sekian, dikurangi Rp 39 miliar penerimaan dan kerugian negara pada reksadana, Rp 11 triliun dikurangi Rp 731 juta atau penerimaan dana likuidasi reksadana setelah 31 Des 2019 menjadi Rp 11 triliun sekian. Kedua, terhadap jumlah total kerugian negara tersebut, dihitung berdasarkan jumlah saldo yang dibeli atau diinvestasikan pada efek surat berharga, saham, atau reksadana, setelah dikurangi penjualan atau redemption saldo per 31 Desember 2019 dengan perhitungkan penerimaan dana hasil penjualan saham atau likuidasi reksadana sampai sebelum laporan audit selesai atau 31 Maret 2021,” ujarnya.
“Sehingga metode penghitungan kerugian negara yang dipakai ini total loss dengan modifikasi yaitu masih diakuinya penerimaan dana sebelum audit selesai atau tanggal yang ditetapkan, bukan pada saat dana dikeluarkan atau pembelian surat berharga tersebut saja dilakukan, yang menyimpang atau melanggar dari peraturan yang berlaku, yaitu saat jumlah dana atau uang keluar sebagai jumlah kerugian yang timbul saat itu,” imbuhnya.
Dia mengatakan ada sejumlah hal yang tidak diperhatikan oleh auditor saat menghitung kerugian keuangan negara di kasus ASABRI. Di antaranya saham dan reksadana yang masih dimiliki PT ASABRI dan bernilai dinamis.
“Surat berharga berupa saham dan reksadana pesanan tersebut, masih ada dan menjadi milik PT ASABRI yang punya nilai harga bergerak secara dinamis, tetapi tidak dihitung saat cut off audit oleh auditor yang tertuang dalam BPK dan ahli di persidangan,” ujarnya.
Hakim Mulyono mengatakan tidak diperhatikannya hal tersebut oleh auditor membuat perhitungan kerugian negara menjadi tidak konsisten. Menurutnya, saham hingga reksadana itu seharusnya ikut dalam perhitungan oleh auditor.
“Sehingga tidak lengkap informasinya, tidak konsisten dengan penerimaan dana yang diterima atau diakui atas penjualan saham dan reksadana setelah 31 Desember 2019 bahkan bahkan sampai pemeriksaan saat 1 Maret 2021,” ucap Hakim Mulyono.
“Dengan melihat metode perhitungan tersebut, maka nilai saham dan reksadana yang masih ada dan dimiliki oleh PT ASABRI tersebut mempunyai nilai seharga bila saham tersebut dijual atau dilikuidasi, walaupun pembeliannya tidak sesuai, akan tetapi masih milik dan menghasilkan penerimaan dana kas bagi PT ASABRI, meski jumlahnya tidak pasti, karena tidak dinilai saat itu, dan harga berdistorsi. Sehingga akan lebih fair bila diperhitungkan juga dalam menghitung kerugian negara itu sendiri. Auditor tidak memperhitungkan itu, namun hanya efek surat berharga yang belum terjual kembali sebelum per 31 Desember 2019, tetapi memperhitungkan penerimaan setelah tanggal 31 Desember 2019. Hal ini sebabkan perhitungan kerugian negara menjadi tidak tepat atau tidak real atau tidak nyata, tidak pasti, dan jumlah nilainya karena tidak dihitung secara nilai real total jumlah pembelian yang menyimpang atau melanggar hukum,” lanjutnya.
Hakim Mulyono menyebut penghitungan kerugian uang negara itu didasarkan pada pengeluaran pembelian investasi. Dia menilai perhitungan itu belum dilakukan secara nyata.
“Berdasarkan audit pemeriksaan penghitungan kerugian negara tersebut didasarkan pada pengeluaran pembelian investasi yang dilakukan oleh ASABRI yang tanpa melalui prosedur dan tidak sesuai aturan berlaku. Tetapi dalam audit tersebut memperhitungkan pengembalian dari adanya efek yang diterima atau menguntungkan ASABRI dalam investasi saham atau reksadana yang dibeli dengan tidak sah tersebut. Yang mana tersebut, masih ada di pembukuan ASABRI tidak dalam sengketa atau diblokir pihak berwenang, dan masih terdaftar di bursa efek. Bila itu sebagai alat, sarana, atau kejahatan perbuatan, bahkan yang menguntungkan atas investasi bermasalah tersebut, sebagai barang bukti, tidak diperlihatkan di dalam persidangan untuk meyakini secara nyata, real, adanya efek saham tersebut sebagai alat atau sarana kejahatan dalam perkara ini,” tutur Hakim Mulyono.
(yld/dhn)