OJK Tunda Penerapan Co-Payment Asuransi Kesehatan, Publik Tetap Merasa Dirugikan
Asuransi Terkini

OJK Tunda Penerapan Co-Payment Asuransi Kesehatan, Publik Tetap Merasa Dirugikan

Asuransiaman.com – Rencana penerapan skema co-payment dalam produk asuransi kesehatan menuai polemik di tengah masyarakat. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Surat Edaran OJK (SE OJK) Nomor 7 Tahun 2025 menetapkan bahwa peserta asuransi akan dibebankan biaya sebesar 10 persen dari total klaim kesehatan, dengan batas maksimal Rp3 juta per transaksi. Aturan ini mencakup layanan seperti rawat jalan yang sebelumnya sepenuhnya ditanggung pihak asuransi.

Kebijakan tersebut sontak memicu keresahan publik. Sejumlah pihak menilai, langkah OJK justru membebani konsumen yang sedang membutuhkan layanan kesehatan. Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI) serta Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menjadi dua di antara sekian banyak lembaga yang menyuarakan keberatan atas regulasi tersebut.

Merespons tekanan publik, Komisi XI DPR RI akhirnya memanggil OJK untuk melakukan evaluasi terhadap kebijakan tersebut. Hasilnya, OJK menyetujui permintaan legislatif untuk menunda pemberlakuan SE OJK No. 7/2025. Penundaan ini diharapkan memberikan ruang untuk penyempurnaan regulasi serta mempertimbangkan masukan dari berbagai pemangku kepentingan.

Kendati demikian, keputusan penundaan tersebut dianggap belum cukup memuaskan berbagai pihak, terutama para pemegang polis. Penundaan dinilai bersifat sementara dan belum menjamin bahwa kebijakan serupa tidak akan kembali diberlakukan dalam bentuk regulasi yang lebih kuat, seperti Peraturan OJK (POJK) di kemudian hari.

Sejumlah pengamat kebijakan publik menyoroti bahwa langkah DPR hanya setengah hati. Pasalnya, alih-alih membatalkan kebijakan yang dianggap merugikan konsumen, DPR hanya meminta OJK menunda implementasinya. Hal ini dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum dan membuka peluang diberlakukannya aturan tersebut di masa mendatang.

Dari sisi argumentasi, OJK menyebutkan bahwa skema co-payment diterapkan guna menekan potensi penyalahgunaan layanan asuransi (fraud), mengendalikan over-utilization, serta menyesuaikan dengan tingginya inflasi sektor kesehatan. Namun, sejumlah pihak menyebut alasan tersebut terlalu menyederhanakan persoalan.

Mereka menilai, potensi fraud dalam sistem layanan kesehatan melibatkan banyak aktor, tidak hanya konsumen. Oleh karena itu, pembebanan biaya kepada peserta asuransi dianggap tidak adil dan justru menciptakan stigma negatif terhadap masyarakat pengguna layanan.

Situasi ini menggarisbawahi pentingnya transparansi dalam perumusan kebijakan sektor keuangan, terutama yang berdampak langsung pada konsumen. Regulasi yang berorientasi pada perlindungan konsumen seharusnya mengedepankan prinsip keadilan dan keterlibatan publik secara aktif dalam proses penyusunan kebijakan.

Kini, publik menanti langkah konkret dari OJK maupun DPR dalam merevisi pendekatan terhadap produk asuransi kesehatan. Banyak pihak berharap agar regulasi ke depan benar-benar berpihak pada perlindungan konsumen, bukan semata demi efisiensi industri keuangan.

LEAVE A RESPONSE

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *