Reksa Dana

Kian Panjang Polemik Biaya Lahan di KIMA, Investor Teriak Minta BPK Audit

Makassar – Polemik biaya lahan di Kawasan Industri Makassar (KIMA) kian panjang. Investor atau pengusaha kini meminta Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) untuk melakukan audit di PT KIMA.

Permintaan audit itu dilayangkan Paguyuban Pengusaha KIMA Makassar (PPKM) karena PT KIMA dinilai secara sepihak menentukan kebijakan perpanjangan penggunaan tanah industri (PPTI). Nilai kenaikan biaya lahan mencapai 30% disebut tidak wajar.

“Kita mau meminta karena sekarang zaman transparansi, itu perlu adanya audit dan kita minta kepada BPK. Kemarin sudah ada surat tembusan dan kita akan buat surat (langsung untuk BPK),” ujar Juru Bicara PPKM M Tahir Arifin dalam keterangannya, Senin (4/4/2022).

Bahkan para pengusaha yang tergabung di PPKM bakal mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mereka berharap bisa ada perlindungan hukum.

“Salah satu perjuangan kita paguyuban ini akan mengajukan permohonan untuk tetap mengupayakan ada perlindungan hukum dan kepastian hukum. Kita akan menyampaikan kepada presiden, sudah ada surat khusus akan kita buat,” katanya.

Kenaikan biaya lahan yang dilakukan PT KIMA diklaim tidak berdasar. Para pengusaha atau investor meminta ada peninjauan ulang terhadap penetapan kenaikan biaya lahan karena dinilai tidak wajar.

“Untuk ditinjau kembali pengenaan 30% dengan alasan bahwa itu sama sekali tidak berdasar, tidak wajar. Karena mengacu pada NJOP, NJOP di lain pihak itu sudah sangat tinggi dengan adanya (lokasinya) di KIMA,” ucap Tahir.

Perpanjangan penggunaan tanah industri (PPTI) memang sudah diatur ketika sudah sampai 30 tahun. Namun dalam aturan tidak ditentukan berapa nilai kenaikan biaya sehingga mesti dibicarakan dengan melibatkan pengusaha.

“Sebagaimana awalnya bapak-bapak (investor) yang diajak masuk itu sangat kita hormati, junjung tinggi budaya, bagaimana memberikan pelayanan yang baik, sehingga puas dengan pelayanan itu. Ini kan harus disosialisasi dulu. Kalau langsung divonis 30% kagetkan itu,” paparnya.

Selain itu, setiap usaha yang berada di KIMA disebut sudah membayar iuran setiap bulan. Nilainya mulai Rp 3 juta bergantung masing-masing perusahaan.

“Di dalam mereka sudah membayar Rp 3 juta setiap bulan bervariasi masing-masing perusahaan. Kalau mereka keluar KIMA juga akan kehilangan pendapatan tetap,” tuturnya.

Tepis Isu Paguyuban Liar

Tahir juga menepis anggapan paguyuban pengusaha ini merupakan organisasi liar. Organisasi ini diakui terbentuk atas keinginan para pengusaha untuk menyatukan persepsi.

“Saya bantah 100%. Ini dibentuk bukan oleh saya yang membentuk, pengusaha sendiri dan untuk kepentingan pengusaha yang bergabung di paguyuban ini,” tegasnya.

Tahir menyebut struktur kepengurusan juga sudah ditetapkan secara resmi yang diisi oleh para pengusaha. Termasuk juga di dalamnya ada dimasukkan tim hukum.

“Ini tanggal 17 Februari 2022 (terbentuk). Bukan komunikasi secara resmi (dengan PT KIMA) tapi mereka paham bahwa ada terbentuk ini di luar,” katanya.

PT KIMA Bantah Ada Kenaikan

Pihak PT KIMA kemudian menjawab tudingan pengusaha soal biaya lahan yang dinaikkan sepihak. Direktur Utama PT KIMA Zainuddin Mappa pun mengaku kebijakan itu sudah berlaku sejak 2014 lalu.

“Jadi tidak ada kenaikan. Itu harga sejak 2014,” ungkap Zainuddin kepada detikSulsel, Jumat (1/4).

Harga PPTI yang dipersoalkan juga sebenarnya sudah ditetapkan sejak 2014 dan sudah melalui audit BPK RI. Kemudian para pengusaha di KIMA juga sudah banyak yang melakukan perpanjangan.

“Jadi harganya sudah acceptable bagi para pengusaha,” jelasnya.

Sementara terkait paguyuban yang terbentuk belakangan ini, Zainuddin mengaku tidak mengenali orang atau kelompok yang menyebut berasal dari pengusaha KIMA. Makanya pengelola KIMA tidak bisa mengakomodasi aspirasinya.

“Nggak ada paguyuban. Jadi itu menurut kami paguyuban yang liar. Tidak kami akui. Kami tidak pernah menyetujui adanya paguyuban,” jelasnya.

Penutupan karena Sanksi Pencemaran Lingkungan

Pihaknya juga membantah tudingan pengelola KIMA melakukan penutupan perusahaan imbas penolakan kenaikan biaya PPTI. Justru perusahaan tersebut tutup karena pencemaran lingkungan yang sanksinya dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Zainuddin menegaskan tidak ada kaitan dengan PPTI. Namun perusahaan tersebut membuang limbah yang membahayakan lingkungan sekitar.

“Beberapa kali kami selaku pengelola tegur. Sudah kami sumbat namun dibongkar lagi. Kami sebagai pengelola kawasan tentu bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan,” pungkasnya.

Simak Video “Pengusaha Sebut ‘Black Market’ Penyebab Langkanya Minyak Goreng
[Gambas:Video 20detik]
(asm/hmw)

LEAVE A RESPONSE

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *