Jakarta –
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menyebut ada sosok Abu Nawas dalam rantai investasi di Indonesia. Abu Nawas ini yang mengganggu investasi dengan pungutan liarnya (pungli).
Bahlil menjelaskan, sebenarnya ada satu anomali yang terjadi di Indonesia. Realisasi investasi RI setiap tahunnya meningkat, namun pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi tidak signifikan.
“Ada satu anomali, investasi kita setiap tahun itu naik, tapi tidak dibarengi dengan tingkat pertumbuhan ekonomi kita yang agak bagus. Ternyata ekor kita tinggi, ekor kita itu 6,6% ini yang membuat biaya mahal,” ucapnya dalam Kompas 100 CEO Forum, Kamis (21/1/2021).
Bahlil menjelaskan, biaya ekor yang dimaksud adalah pungli yang dia sebut juga sebagai biaya Abu Nawas. Dia mengaku paham mengenai hal itu karena sebelumnya dia merupakan pengusaha.
“Biaya pungli, macam-macam lah. Bapak-bapak CEO ini pasti tahu. Dulu pengalaman saya masih jadi pengusaha, biaya Abu Nawas paling banyak ini. Akhirnya produk kita tidak kompetitif,” ucapnya.
Biaya Abu Nawas itu yang membuat produk yang dihasilkan tidak kompetitif karena perusahaan harus mengeluarkan biaya ekstra dan terpaksa memberatkannya ke harga jual.
Terbukti dari rasio produktivitas atau Incremental Capital Output Ratio (ICOR) yang masih mencapai 6,6. Angka itu lebih tinggi dari negara tetangga seperti Malaysia 4,5, Filipina 3,7, Thailand 4,4 dan Vietnam 4,6. Semakin tinggi ICOR, maka artinya tingkat efisiensi semakin rendah.
“Nah biaya Abu Nawas ini hanya bisa diselesaikan dengan cara2 transparan. Makanya izin-izin sekarang tidak boleh lagi pakai manual, kita sudah berbasis semua elektronik, berbasis OSS dan transparan. Bagi pengusaha sebenarnya adalah aksesnya harus mudah, kemudian kecepatan, transparansi dan kalau bisa lebih murah, itu lebih paten lagi,” tambahnya.
(das/zlf)